Jumat, 03 Februari 2017

Selamat Tinggal Ahok, Selamat Datang Persatuan (Kebangkitan Umat 5) [BAG 2]

 Massa dari berbagai ormas Islam melakukan aksi saat sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang berlangsung di auditorium Kementan, Jakarta (Ilustrasi)


Secara sosial, tak mungkin ada lagi yang bisa menyelamatkan Ahok. Ketajaman lidah, kesombongan, keplin-planan, keangkuhan, dan kebengisannya terhadap masyarakat Jakarta, terutama penduduk yang digusur sulit dilupakan.

Secara budaya, apalagi. Betapa Ahok sangat arogan menginjak kaum Betawi, yang notabene pemilik Jakarta. Pertanyannya, bagaimana secara hukum? Walau telanjang pembelaan terhadap Ahok dibandingkan kasus serupa sebelumnya, tetap saja Ahok tak akan bisa lolos.

Penguasa boleh membelanya. Konsekuensinya, masyarakat takkan pernah lagi percaya kepada penegak hukum. Sebaliknya, semakin hukum membela, semakin bangkit persatuan umat. Semakin menguat kekuatan rakyat.

Pemerintah kini dibenturkan pada dua pilihan: mempertahankan Ahok atau kepercayaan publik.

Apa pun itu, sejarah membuktikan, siapa pun yang menistakan Islam, ia akan tenggelam. Bahkan, fakta itu selalu terjadi sejak era Kenabian. Bukan hanya dalam sejarah perjalanan Nusantara. Hanya waktu dan cara yang membedakannya.

Ahok masih berharap pilgub? Itu sama saja buang-buang waktu dan biaya. Hanya kecurangan yang sanggup memenangkannya. Dan risiko itu tak mungkin diambil bandar. Cukup sudah bangsa ini dibentur-benturkan.

Kita kembalikan lagi tatanan ajeg di Ibu Kota dan Indonesia. Semakin umat diinjak, semakin kuat persatuan. Itu adalah panggilan jiwa dari Sang Maha, sunatullah, yang takkan mampu manusia dan seluruh makhluk di Bumi mengubahnya.

Satu tugas pihak independen yang kiranya patut dilakukan: membuka kembali catatan medis dan psikologis Ahok dan perlihatkan kepada publik. Selamat tinggal Ahok, selamat datang persatuan. Shalaallahu alaa Muhammad. 
*) Pemerhati sosial

Selamat Tinggal Ahok, Selamat Datang Persatuan (Kebangkitan Umat 5)

 Massa dari berbagai ormas Islam melakukan aksi saat sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang berlangsung di auditorium Kementan, Jakarta (Ilustrasi)

Oleh: Rudi Agung *)

Memasuki abad ke-20, umat Islam tak hanya perang melawan Belanda, melainkan juga dengan desingan peluru penistaan agama yang beragam. Pada masa itu, kota Surakarta, pernah diguncang surat kabar Djawi Hiswara edisi 11 Januari 1918 Nomor 5. Surat kabar yang diterbitkan N.V.Mij. t/v d/z Albert Rusche&Co. dan dipimpin Martodarsono itu, memuat artikel Djojodikoro yang menistakan Rasulullah. 

Karena artikel ini menistakan agama dan menghina umat Islam, maka timbul reaksi keras dan amarah terhadap penulis dan dewan redaksi Djawi Hiswara. Guncangan di Surakarta turut dirasa saudara seiman di Surabaya. Mengetahui Rasul dihina, api tauhid dalam dada umat Islam Surabaya berkobar-kobar. 

Maka pada akhir Januari, Tjokroaminoto dan Hasan bin Semit-seorang pemimpin Al-Irsyad Surabaya dan juga komisaris Centraal Sarekat Islam mengadakan pertemuan maraton Sarekat Islam (SI) secara besar-besaran di Surabaya, untuk membahas penistaan agama ala Djawi Hiswara. 

Abikoesno Tjokrosoejoso, adik Tjokroaminoto yang juga sekretaris SI Surabaya, lewat tulisannya di majalah Medan Moeslimin, mengecam Martodarsono dan Djodjodikoro, mendorong sunan agar menghukum keduanya, serta menggerakkan kaum Muslimin untuk membela Islam.

Masih di masa kolonial Belanda, kembali terjadi penistaan agama lewat media massa. Sekitar bulan Desember tahun 1930, surat kabar Soeara Oemoem yang diterbitkan oleh Studieclub Indonesia, memuat pelbagai tulisan yang menghina ibadah haji. Lagi-lagi api tauhid berkobar, persatuan umat Muslim bangkit. Demikian tulisan Muhammad Cheng Ho, "Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa", yang dimuat di laman JejakIslamdotnet

Tiga tahun setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1948, penistaan agama meningkat menjadi ajang pembantaian. Kali ini ulama dan santri pesantren Gontor menjadi sasaran PKI. Pondok Gontor diguncang pemberontakan PKI yang dikenal dengan sebutan Madiun Affair. 

Pada masa orde lama, penistaan agama masih berlanjut. Kala itu, Partai Komunis Indonesia alias PKI menyerbu Masjid Agung Kembangkuning Surabaya. Mereka lalu menginjak-injak tempat suci itu sambil bernyanyi "Genjer-genjer" dan menari-nari. Teramat panjang seharah kekejiaan PKI terhadap Islam dan bangsa ini. 

Di masa Orde Baru, kebencian terhadap Islam tak berhenti. Arswendo Atmowiloto, sekitar tahun 1990 membuat polling di Tabloid Monitor, yang lagi-lagi menistakan Islam. Ia dihukum penjara. 

Pascareformasi, api kebencian terhadap Islam seolah tak juga padam. Islam disudutkan, aktivisnya dibunuh, ulama dihina dina, ada yang dimasukan dalam penjara. Rentetan kebencian Islam itu dikemas dalam drama teroris yang kental dengan penyudutan Islam. Terakhir, peritstiwa Siyono seolah membuka tabir drama tersebut hingga masyarakat tak percaya lagi dengan isu teroris. 

Kini, giliran Ahok menistakan Alquran. Sekaligus menistakan ulama. Seluruh masyarakat Muslim murka dan mendesak keadilan hukum. Belakangan, ulah Ahok makin dinilai keterlaluan dalam sidang kedepalan yang mengancam Kiai Ma'ruf. 

Mulai tokoh bangsa sampai para ulama mengeluarkan kecaman kerasnya. Seluruh elemen Islam bangkit melawan. Terlebih Kiai Ma'ruf menjadi representasi Ulama sepuh yang sangat dihormati dan dimuliakan umat Islam Indonesia. 

Sampai-sampai KH Didin Hafiduddin menyebut Ahok membahayakan. Ulah Ahok dan kuasa hukumnya tak hanya menyenggol kemarahan umat, melainkan turut mengancam ketenangan bernegara terkait kontroversi penyadapan. 

Secara politik, sejak lama Ahok sudah keok. Jauh sebelum ramai kasus penistaan agama muncul, 27 September 2016. Baca: "Kisah Pak Tono dan Tamatnya Karier Ahok", Republika Online, 14 September 2016. 

Pelbagai dugaan kasus korupsinya tak pernah bisa hilang dari ingatan masyarakat. Walau media pendukung dan proses hukum berjalan amat lucu. 

Ingatan masyarakat juga tak pernah hilang dengan pembelaan Jokowi terhadap Ahok yang amat telanjang dipertontonkan. Terbaru, dalam kasus ancaman terhadap Kiai Ma'ruf, Luhut sampai datang ke rumah Kiai. Jauh dari tupoksinya. 

SELANJUTNYA

Polri Sebut tak Ada Kata-Kata Penyadapan dalam Persidangan Ahok

Sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa  Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (tengah).
Polri menyatakan tidak ada kata-kata penyadapan yang bergulir di dalam sidang dugaan penistaan agama yang menjerat terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Selasa (31/1), lalu. Kata-kata dugaan penyadapan justru keluar dari bibir mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).     

"Soal dugaan penyadapan, dalam persidangan pun kami tidak melihat ada kata-kata sadap," kata Kabagpenum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (3/2).

Menurut dia, informasi yang bergulir justru berakhir pada dugaan adanya penyadapan. Dalam konferensi pers, SBY menyebutkan, jika benar ada penyadapan maka hal tersebut ilegal dan meminta Polri untuk dapat menegakkan hukum sesuai UU ITE.

"Terkait informasi yang disampaikan oleh Bapak SBY mantan Presiden Republik Indonesia ke-6 tentu kami menyikapi apa yang disampaikan oleh beliau, sikap kami tentu kami akan mencermati informasi tersebut," kata dia.

Dari informasi itu juga, kata Martinus, pihaknya akan menilai apakah memiliki hubungan dengan bukti atau justru dapat memberikan bukti-bukti baru. Sehingga yang dapat dilakukan oleh Polri menyoal informasi dugaan penyadapan baru sebatas menelusuri dan mempelajari. 

"Sehingga bagi kami, kami akan cermati pelajari dan akan telusuri dalam kaitan untuk membuat informasi itu betul-betul menjadi fakta, namun kita harus bisa memahami juga informasi-informasi yang beredar belum tentu juga memiliki fakta," kata mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini.

Alasan lainnya, ucapan dugaan adanya percakapan antara SBY dan Kiai Ma'ruf Amin terjadi di dalam persidangan. Sehingga merupakan ranah hakim untuk menindaklanjuti apakah dibutuhkan pemeriksaan terkait celetukan informasi tersebut.

"Hakim lah yang memiliki kekuasaan untuk menilai, hakim juga yang menentukan apakah informasi yang disampaikan itu memiliki akurasi data yang baik atau tidak. Kalau tidak, maka itu akan bisa dilakukan pemeriksaan dengan memerintahkan jaksa dan panitra untuk melakukan pemeriksaan terhadap mereka-mereka yang memberikan informasi yang kurang tepat, secara KUHAP itu diatur," jelas Martinus.

Dia tegaskan, informasi yang bergulir di ruangan sidang pihaknya hanya bisa mencermati saja. Sedangkan bagaimana tekniknya, menjadi rahasia polisi. "Bagaimana mencermati tentu itu bagian dari taktik dan teknik dari polisi, tidak bisa kita sampaikan. Pada prinsipnya informasi-informasi yang beredar tentu kami cermati kami simpan dan kami assessment informasi terus valid harus memiliki A1 itulah yang kita cermati," kata dia.

Pekan Depan, Habib Rizieq Jadi Saksi di Sidang Ahok







Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Syihab bakal dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sidang tersebut bakal kembali digelar pada Selasa 7 Februari 2017.

“Habib Rizeiq mau menjadi saksi perkara Ahok minggu depan (Selasa 7 Februari 2017),” kata kuasa hukum Habib Rizieq, Kapitra Ampera kepada Okezone, Jumat (3/2/2017).


Kapitra sempat menyinggung beredarnya video berisi percakapan vulgar diduga Habib Rizieq dengan Ketua Yayasan Solidaritas Sahabat Cendana, Firza Husein, untuk menjatuhkan kliennya itu. Terlebih, kliennya akan dihadirkan sebagai saksi di sidang Ahok.

“Tujuan video ini ditayangkan sangat mudah dibaca, Habib Rizeiq mau menjadi saksi perkara Ahok minggu depan. Tentu isu ini menjadi sangat penting,” ujarnya.

Seperti diketahui, Habib Rizieq usai diperiksa oleh penyidik Polda Metro Jaya, mengajak pengikutnya untuk terus mengawal jalannya sidang Ahok. Apalagi, pada sidang sebelumnya terjadi insiden, Ahok dan kuasa hukumnya memojokkan Ketua Umum MUI, KH Ma’aruf Amin.

"Sebagai saksi ahli dihinakan oleh Ahok dan pengacaranya. Siap bela ulama? Kepada umat islam, kawal terus sidang Ahok. Ahok tidak boleh bebas," kata Rizieq di depan Mapolda Metro Jaya, Rabu 1 Februari 2017.

MENGEJUTKAN! Ditengah Kegaduhan Negeri, Ini yang akan dilakukan TNI!


Pangdam V Brawijaya Mayjen TNI I Made Sukadana meminta agar TNI bisa menjadi menjaga persatuan dan kesatuan, serta tidak terprovokasi dengan isu SARA yang akhir-akhir ini marak berkembang di masyarakat.

"Indonesia lahir penuh dengan perjuangan untuk meraih kemerdekaan, diharapkan TNI bisa menjaga kedaulatan yang telah kita diraih," katanya saat menyampaikan pengarahan kepada 516 anggota TNI dari Pamekasan dan Sumenep di Makodim Pamekasan.


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kata Pangdam, merupakan harga mati, dan oleh karenanya, TNI bersama segenap lapisan masyarakat harus mempertahankan hal itu.

Dalam kesempatan itu, Pangdam juga menceritakan bahwa di Indonesia sebelumnya pernah berdiri dua kerajaan besar yang pada akhirnya hancur berantakan akibat konflik internal dalam perebutan kekuasaan, yakni Sriwijaya dan Majapahit.

Kedua kerajaan besar itu hancur karena diprovokasi oleh pihak-pihak luar yang ingin menguasai. "Hingga akhirnya bangsa dan negara kita dijajah selama 350 tahun," ucapnya.

Setelah para pemuda bangkit dan bersumpah pada 1928 yang dikenal dengan Sumpah Pemuda 1928 dan para pihak yang semula terpecah bersatu, Indonesia akhirnya mampu mengusir penjajah dengan memproklamasikan kemerdekaannya yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945.

Dengan demikian, kata Pangdam, kebersamaan, persatuan dan kesatuan dari segenap elemen bangsa, merupakan kekuatan yang tidak terhingga yang perlu terus dijaga dan dirawat dengan.

"Indonesia punya ideologi negara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka tunggal Ika, dan NKRI. Jangan sampai kita berpecah belah, jaga NKRI, jaga UUD 45, jaga Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika," pinta Pangdam.

TNI-Polri sebagai abdi negara, harus menjadi cermin kebhinekaan. "Karena kita terdiri dari bermacam-macam ras, suku bangsa dan berbagai agama dan golongan," ucapnya.

"TNI-Polri itu dibilang sebagai benteng negara, jadi diharapkan bisa saling bersinergi dengan baik dalam melaksanakan tugasnya," timpalnya lagi.

Dalam kesempatan itu, Pangdam V Brawijaya meminta kepada semua pihak, khususnya TNI agar tidak terpengaruh oleh provokasi yang berbau SARA, apalagi mengikuti isu yang tidak bertanggung jawab dan berkembang dengan pesat akhir-akhir ini.

"Tapi kita juga harus mengetahui perkembangan informasi di luar sana, karena saat ini banyak penyusup bangsa yang ingin memecah belah NKRI," imbuhnya.

Pangdam V Brawijaya melakukan kunjungan kerja ke Madura, dengan terlebih dahulu berkunjung ke Kabupaten Sumenep, lalu ke Pamekasan. Di Pamekasan, Pangdam sempat mengunjungi sejumlah lokasi, dan bersepeda santai bersama Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) Pemkab Pamekasan. Salah satunya ialah Vihara Avalokitesvara, yakni kelenteng yang menjadi simbol kerukungan umat beragama di Pamekasan, karena di klenteng itu terdapat tiga tempat ibadah umat berbeda agama, yakni vihara, pura dan musala.

Pendataan Ulama di Jombang Dinilai Mirip Zaman PKI

KH M Irfan Yusuf (Foto: iNews TV)


 Pendataan ulama pesantren oleh polisi di Kabupaten Jombang, Jawa Timur membuat para kiai di Kota Santri Jombang resah. Dalam situasi seperti sekarang para kiai khawatir pendataan tersebut akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Kekhawatiran para kiai pesantren atas pendataan yang dilakukan polisi sebagaimana diungkapkan KH Mohamad Irfan Yusuf, salah satu pengasuh pondok pesantren di Dusun Tebu Ireng Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Gus Irfan panggilan akrab Kiai Mohamad Irfan Yusuf mengaku bingung dan bertanya-tanya kenapa polisi mendata para kiai. Menurut dia, yang dilakukan polisi ini mirip dengan situasi seperti pada zaman PKI puluhan tahun silam. Cara polisi meminta data menurutnya juga sangat tidak etis.
Saat itu, kata dia, polisi tiba-tiba datang ke pesantren dan meninggalkan blangko atau angket agar diisi oleh kiai tanpa memberikan penjelasan maksud dan tujuannya. Dalam situasi seperti sekarang cara polisi meminta data seperti ini tentu saja membuat para kiai resah dan bertanya-tanya.
Sebelumnya, Kapolres Jombang AKBP Agung Marliyanto meminta maaf kepada para kiai dan ulama atas kesalahpahaman mengenai pendataan terhadap para ulama di wilayah Kabupaten Jombang.
Menurut Kapolres yang terjadi sebenarnya hanyalah pendataan terhadap potensi wilayah yang ada di masyarakat bukan khusus terhadap para kiai.
“Bisa data potensi bencana, harga-harga kebutuhan pokok, nama-nama tokoh masyarakat dan masih banyak lagi,” kilah Kapolres.
(put)

Ketua Umum PBNU Said Aqil: Warga NU tidak akan Pilih Ahok



Ahok dihancurkan oleh dirinya sendiri. Sebagaimana pepatah "mulut mu harimau mu".

Jelang pencoblosan Pilkada DKI, calon petahan malah tersungkur oleh ulahnya sendiri (baca: mukutnya sendiri). Bukannya meraih simpati malah membuat antipati. Begitulah sesungguhnya kuasa dan balasan Ilahi yang ayat-ayatnya dinista.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj mengungkapkan kerugian bagi orang yang menyinggung persaaan NU.

Hal ini menanggapi perlakuan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terhadap KH Ma'ruf Amin saat sidang kasus penodaan agama dimana Ahok melecehkan KH Ma'ruf Amin, menuding berbohong dan saksi palsu serta mengancam akan memproses hukum.

Saat wartawan bertanya apa konsekwensi dari perlakuan Ahok tersebut, Ketua Umum PBNU menjawab tegas.

Said Aqil: "Warga NU gak akan milih dia."

Said Aqil: "Beliau (KH Ma'ruf Amin) orang tua, kyai, tokoh nasional yang mau datang ke pengadilan, itukan harus kita hargai, kita hormati (kok malah dilecehkan -red), (Kyai Ma'ruf mau datang ke pengadilan) saking terdorong untuk tegaknya keadilan."

Berikut selengkapnya video pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj.